Sabtu, 16 Mei 2009

GURU Sufi

Seorang guru sufi mendatangi seorang

muridnya ketika wajahnya belakangan ini
selalu tampak murung.

“Kenapa kau selalu murung, nak?
Bukankah banyak hal yang indah di dunia
ini? Ke mana perginya wajah
bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh
masalah. Sulit bagi saya untuk
tersenyum. Masalah datang seperti tak
ada habis-habisnya,” jawab sang murid
muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas
air dan dua genggam garam. Bawalah
kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu
itu.” Si murid pun beranjak pelan tanpa
semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa
gelas dan garam sebagaimana yang
diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan
masukkan ke segelas air itu,” kata Sang
Guru. “Setelah itu coba kau minum
airnya sedikit.” Si murid pun
melakukannya. Wajahnya kini meringis
karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si
murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah
muridnya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru
membawa muridnya ke danau di dekat
tempat mereka. “Ambil garam yang
tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si
murid menebarkan segenggam garam yang
tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa
asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin
meludahkan rasa asin dari mulutnya,
tapi tak dilakukannya. Rasanya tak
sopan meludah di hadapan mursyid,
begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau
itu,” kata Sang Guru sambil mencari
batu yang cukup datar untuk
didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya,
mengambil air danau, dan membawanya ke
mulutnya lalu meneguknya. Ketika air
danau yang dingin dan segar mengalir di
tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid
sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau
ini berasal dari aliran sumber air di
atas sana. Dan airnya mengalir menjadi
sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti,
air danau ini juga menghilangkan rasa
asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan
tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid
sambil mengambil air dan meminumnya
lagi. Sang Guru hanya tersenyum
memperhatikannya, membiarkan muridnya
itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya
selesai minum. “Segala masalah dalam
hidup itu seperti segenggam garam.
Tidak kurang, tidak lebih. Hanya
segenggam garam. Banyaknya masalah dan
penderitaan yang harus kau alami
sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar
oleh Allah, sesuai untuk dirimu.
Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja,
tidak berkurang dan tidak bertambah.
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini
pun demikian. Tidak ada satu pun
manusia, walaupun dia seorang Nabi,
yang bebas dari penderitaan dan
masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan
yang dialami itu sangat tergantung dari
besarnya ‘qalbu’(hati) yang
menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak
merasa menderita, berhentilah jadi
gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu
jadi sebesar danau.”

Selasa, 05 Mei 2009

Ilmu Laduni

Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.

Di dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai-Nya dan bagian yang paling dalam yakni sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu amarah) kepada-Nya.

Meski dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh; sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ tersebut
telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan.

Tuhan akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu cermin tersebut
akan dapat memantulkan gambar apa saya yang ada ihadapannya.

Demikian juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni. Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Tuhan dan ia pun
semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas, seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, "Cangkir teh tidak
akan dapat menampung segala air yang ada di samudera."

Keberadaan dan status ilmu laduni bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Alquran (QS Al Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni.
Mereka memandang Khidir AS sebagai orang yang mempunyai lmu laduni dan Musa AS sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu laduni karena di dalam surah al-Kahfi ayat 65 disebutkan: "wa'allamnahu min ladunna 'ilman.." (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir AS) ilmu dari sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan disebut ilmu laduni.

---disadur dari republika ...Jumat, 29 April 2005 (ada juga di http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=88)

Senin, 04 Mei 2009

Tafsir Surah An-Nur 35 - 38

Maksud ayat:
“Allah (memberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan (bintang yang bercahaya) seperti mutiara yang menyalakan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, iaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya yang minyaknya sahaja menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) Allah membimbing kepada cahayanya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahka untuk dimulakan dan disebut namanya di dalamnya, pada waktu pagi dan pada waktu petang, lelaki yang tida dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah dan dari mendirikan solat dan dari membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari (yang dihari itu) Hati dan penglihatan menjadi goncang. Mereka yang mengerjaka demikian itu supaya Allah memberikan balsan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan, dan supaya Allah menambahkan kurnianya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki pada siapa yang dikehendakinya.” (An-Nur: 35-38)

1.1. Hakikat Cahaya
Kejelasan, penafsiran dan pengertian ayat misykat memberi bantuan yang amat besar dalam memahami persoalan hati dan perjalanan suluk.

Pada ayat pertama, komposisi atau komponen manusia diumpamakan dengan lubang yang tidak tembus dengan pelita dan kaca. Misykat adalah suatu lubang di dinding yang tidak tembus ke sebelahnya. Pelita sama dengan lampu, dan kaca adalah dinding yang menghimpun dan melingkupi pelita yang menerangi.

Perumpamaan ketiga-tiga komponen ini adalah perumpamaan dari manusia yang beriman yang padanya ada jasadnya, hatinya dan cahaya yang ada di dalam hati. Jasad diumpamakan dengan misykat, hati diumpamakan dengan kaca dan cahaya diumpamakan dengan pelita yang ada dalam kaca.

“Allah cahaya langit dan bumi”

Bermaksud; Dia adalah pemberi petunjuk (cahaya) kepada langit dan bumi; di mana tiada petunjuk di langit dan di bumi tanpa cahaya-Nya. Selanjutnya Allah mengumpamakan petunjuk-Nya sebahagian petunjuk bagi orang mukmin. Hidayah ditamsilkan dengan perumpamaan-perumpamaan, kebesaran dan kemuliaan hidayah-Nya menjadi jelas.

Jadi, misykat adalah jasad orang mukmin yang melingkupi hatinya, kaca ialah hati orang mukmin yang melingkupi cahaya hati yang merupakan petunjuk dari penunjuk bagi orang mukmin itu sendiri, sehingga dia mampu melihat hakikat segala sesuatu yang berjalan di atas hidayah dari Tuhannya dengan cahaya tersebut. Ini adalah Tahap Pertama dalam perumpamaan.

Tahap perumpamaan kedua ialah kaca yang melingkupi pelita atau hati yang melingkupi cahaya dan kebenderangan cahaya yang sangat cemerlang diumpamakan dengan bintang yang menerangi, di mana bintang itu diserupakan dengan mutiara kerana sangat cemerlangnya cahaya bintang tersebut.

Kita perhatikan di sini, perbincangan tentang kaca dan semua pelitanya atau tentang hati dan cahayanya, seluruhnya diumpamakan dengan bintang yang mutiara (al-Kaukub ad-Durriy) sehingga pelita itu mampu bersinar. Demikian pula kacanya, ia bersinar kerana cemerlang dan putih bersih.

Perumpamaan Tahap Ketiga ialah pelita ada dalam kaca, dari mana dan dengan apa kaca itu dinyalakan? Dari mana cahaya itu didapati? Bagaimana kecahayaan (nuraniyah) mampu berlangsung? Dengan ungkapan lain, cahaya itu ada di dalam hati, dari mana hati itu memperoleh nuraniah? Bentuk pertolongan bagaimana yang yang diberikan kepada hati atau yang diperolehinya hingga ia bernuraniah? Apa yang menimbulkan cahaya rohani tersebut?

Allah SWT berfirman yang dinyalakan, maksudnya yang dinyalakan adalah pelita yang ada dalam kaca atau cahaya yang ada dalam hati orang mukmin dinyalakan, “dengan minyak yang dari pohon yang banyak berkatnya atau yang banyak manfaatnya. Iaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah baratnya”. Sedangkan Zaitun ialah syariat Allah.

Menurut Ibnu Katsir, kejernihan, sinar atau nuraniah yang ada dalam diri seorang mukmin diumpamakan seperti dinding kaca yang jernih lagi murni seperti permata, sedangkan al-Qurán dan syariát diumpamakan seperti minyak jernih, baik, bercahaya dan seimbang tanpa ada sedikit pun keruh.

Perumpamaan terhadap keempat pohon yang penuh berkah merupakan sumber dari cahaya hati, adalah syariat Allah yang penuh manfaat, yang merupakan sumbe dari cahaya kalbu. Dari situlah kalbu mengambil cahaya. Berapa kadar besar minyaknya? Allah befirman:

“Yang minyaknya sahaja hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api”

Minyak itu dinyatakan jernih dan bercahaya, kata an-Nasafi kerana kilaunya hampir-hampir bersinar tanpa ada api atau tanpa dinyalakan api. Kadar besar nuraniah syariat yang memberi cahaya pada hati? Dan betapa besar cahaya hati yang diperoleh dari sinaran cahaya syariat?

Demikianlah adanya, dan kerana itulah Allah berfirman:

“Cahaya di atas cahaya”

Ini adalah perumpamaan tahap kelima. Cahaya yang diumpamakan kebenaran itu, kata an-Nasafi, seperti yang bersatu yang berlapis-lapis yang mana di dalamnya terjadi interaksi antara (cahaya) misykat, pelita dan minyak. Sehingga tidak ada satupun yang tinggal untuk memperkuat benderangnya cahaya, kerana pelita yang ada di dalam tempat yang sempit menyerupai lubang yang tidak tembus, di mana ia mampu menghimpun dan memadukan seluruh cahaya. Hal ini berbeza seandainya di tempat yang luas, maka sinar cahayanya akan tersebar dan berserakan. Sedangkan (dinding) kaca merupakan suatu yang paling banyak menambah penerangan, demikian juga dengan minyak dan kebenderangannya.

Menurut Ibnu Katsir’As-Saddi yang pernah berkata tentang firman Allah tersebut, cahaya di atas cahaya adalah cahaya api dan cahaya minyak bila bersatu akan memancarkan sinar, dan yang satu tidak akan memancarkan cahaya yang lain. Demikian pula cahaya al-Qurán dan cahaya iman bersatu padu.

Dengan demikian, perumpamaan yang Allah buat untuk menerangkan kebebasan hidayahNya telah sempurna, dan dari penjelasan tentang perumpamaan tersebut, kita tahu bahawa penunaian syariat Allah lah yang mampu memberikan cahaya iman yang abadi.

Selain itu, berdasarkan pendapat Ibnu katsir’As-Saddi juga, cahaya api dan cahaya minyak bila bersatu padu memancarkan sinar, dan tidak akan bersinar satu di antaranya tanpa yang lain. Demikian juga cahaya al-Qurán dan cahaya iman ketika bersatu padu, dan satu di antaranya tidak akan memancarkan cahaya tanpa yang lain.

Di sini, kita sudah mulai memahami bahawa kewujudan kandungan al-Qurán merupakan makanan yang kekal bagi kalbu, sebab dengan al-Qurán pelita hati akan tetap menyala terang dan akan tetap memperolehi petunjuk. Bertambahnya perpaduan cahaya hati dan pancarannya bergantung kepada kadar penunaian seseoang terhadap kandungan al-Qurán dan misykat atau jasad akan memantulkan cahaya ini sehingga jalan baginya menjadi terang dan juga bagi yang lain.

“Allah membimbing kepada cahaya-Nya kepada siapa yang dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Maksudnya Allah membimbing kepada cahaya syariat-Nya atau Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki dari ahli Iman sehingga mereka memperolehinya dan mengikuti petunjuk yang diberikan kepada mereka.

Ayat berikutnya menjelaskan tentang tempat mereka yang hatinya dipenuhi cahaya dan hidayah:

“Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.”

Ketika menerangkan ayat misykat (lubang yang tidak tembus) yang terdapat di sebahagian rumah Allah, iaitu masjid, an-Nasafi mengulas bahawa Misykat adalah jasad orang mukmin yang hatinya adalah mencintai masjid. Dapat disimpulkan bahawa titik tolak kepada pendidikan keimanan yang tinggi adalah masjid dengan cara menyucikan diri di dalam masjid pada waktu pagi dan pada waktu petang dengan melaksanakan solat di dalamnya. Ini adalah kerana mereka adalah lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula dari jual beli dari mengingat Allah, dari mendirikan solat, dan dari membayar zakat. Mereka takut pada satu hari (yang di hari itu) hati penglihatan menjadi goncang.
Sumber: http://hasanhusein.blogspot.com

Jumat, 01 Mei 2009

KETIKA UMAR MENANGIS

Pada suatu hari, Abu Musa al-Asy’ari, amir kota Basrah keluar dari rumahnya untuk memberikan khotbah. Jika dia memberikan khotbah, maka yang pertama-tama ia ucapkan adalah ucapan syukur dan pujian kepada Allah swt., kemudian shalawat kepada Rasulullah saw., Setelah itu, ia doakan Umar r.a.. Dan ia selalu melakukan hal itu setiap hari Jumat.

Menyaksikan kelakuan Abu Musa al-‘Asy’ari yang seperti ini, seorang laki-laki bernama Dhabbah bin Muhshan merasa jengkel dan bertanya kepadanya dengan suara lantang, “Mengapa kamu tidak pernah mendoakan Abu Bakar r.a.?”

Abu Musa r.a. pun marah mendengar perkataan Dhabbah bin Muhshan ini. Maka ia mengirim surat kepada Umar r.a sebagai Amirul Mukminin yang berbunyi bahwa Dhabbah bin Muhshan menentang isi khotbahku.

Maka Umar r.a mengirim surat balasan kepada Abu Musa r.a yang berbunyi, utuslah ia untuk menghadapku.

Datanglah Dhabbah bin Muhshan ke kota Madinah untuk menghadap Umar r.a.. Maka Umar r.a. menyambutnya dengan ucapan, “Aku tidak mau mengucapkan kata marhaban atau kata ahlan kepada kamu.”

Dlabbah pun menjawab perkataan Umar itu,”Sesungguhnya ucapan marhaban datang dari Allah, sedangkan kata ahlan, maka keberadaan keluarga dan harta adalah swt.. Dan mengapa aku dipanggil dari kotaku untuk datang menghadapmu tanpa ada kesalahan dan dosa yang aku perbuat?”

Kemudian Umar r.a. menjawab perkataan Dhabbah,”Lalu apa yang menyebabkan timbulnya pertengkaran antara kamu dengan Abu Musa?”

Dhabah pun menjawab pertanyaan Umar r.a itu,”Baiklah wahai Amirul Mukminin, aku beritahukan kepadamu persoalan yang sebenarnya. Abu Musa r.a. jika memberikan khotbah, selalu dimulai ucapan syukur dan puji kepada Allah swt., kemudian dilanjutkan dengan ucapan shalawat kepada Nabi saw., kemudian dilanjutkan dengan ucapan doa untuk engkau. Maka kelakuannya itu membuat aku merasa jengkel. Dan akhirnya aku katakan kepadanya, mengapa kamu selalu mengutamakan ia dari Abu Bakar r.a? Dan jawabannya, ia menulis surat yang berisi aduan kepada engkau.”

Mendengar ucapan Dhabbah itu, Amirul Mukminin Umar Ibnul Khattab r.a menangis. Air matanya mengalir deras di pipinya. Kemudian ia berkata,”Demi Allah, kamu lebih paham dan lebih mengerti dibandingkan ia (maksudnya Abu Musa r.a). Apakah kamu mau memaafkan dosaku, agar Allah dapat memaafkan dosaku?”

Maka Dhabbah menjawab,”Wahai Amirul Mu’minin, Allah memaafkan dosa kamu.”

Sambil menghapus air matanya, Umar r.a berkata,”Demi Allah, semalam dan sehari dari kehidupan Abu Bakar lebih baik dibandingkan Umar dengan semua keluarganya”.



Sumber : “100 Qishshatin wa Qishshati min Hayaati Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, Karya Muhammad Shiddiq al-Minsyawi

Ketika Ibrahim Menangis

Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.

Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”

Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.

Sumber ; http://azri.free.fr/sufi/ketika_ibrahim.php

ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI

ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI
oleh Jalaluddin Rakhmat

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling
sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,
Kairo, 1983.

Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin
al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.

Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.

Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.

------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,
1327 H.

------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978.

Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Kang Sejo Melihat Tuhan (Mohammad Sobary)

GURU

Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku kata gu
dari kata guru itu berarti digugu dan ru, artinya ditiru.
Barangkali benar, guru memang digugu (dianut) dan ditiru,
diteladani para murid. Dari sana, barangkali Ki Hajar
Dewantara merumuskan peran guru yang terkenal: ing ngarso
asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani itu.
Barangkali dari sana pula pepatah kita "guru kencing
berdiri, murid kencing berlari" itu memperoleh inspirasinya.

Sardono W. Kusumo pernah mengatakan kepada saya bahwa di
masyarakat Jawa, guru tidak harus merupakan sebuah sosok
pribadi, melainkan bisa juga cuma berupa citra atau sosok
bayangan. Dalam sebuah lakon disebutkan, ketika Resi Durna
sedang mengajar para satria Pandawa dan Astina memanah,
seorang satria lain datang hendak berguru memanah kepada
resi tersebut.

"Tidak bisa, ki sanak," sahut Begawan Durna. "Saya sudah
teken kontrak untuk hanya mengajar para satria ini, dan tak
akan lagi pernah menerima murid lain."

Satria itu kemudian pergi dengan rasa kecewa. Namun,
tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna tetap membara.
Citra Durna sebagai guru sakti tak ada duanya sangat
mempengaruhinya.

Syahdan, sang satria pun kemudian membuat patung Pandita
Durna Ia lalu mulai belajar memanah, sambil membayangkan
bahwa ia sedang benar-benar belajar kepada pandita sakti
itu. Dan konon, kehebatan satria ini tak kalah dari para
murid yang belajar dari Durna secara langsung.

Mudah diduga, andaikata Durna menerimanya sebagai murid,
pasti satria itu bakal menjadi murid yang taat kepada guru.
Apa pun perintah sang guru, murid itu pasti akan
mematuhinya. Dengan kata lain, murid itu pasti akan mampu
memanggul tugasnya sebagai murid yang harus senantiasa
membuktikan bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.

Tapi, masihkah sekarang ini guru memperoleh kehormatan
sebagai orang tua yang tetap digugu lan ditiru (didengar
petuahnya, ditiru tindakannya?). Zaman berubah. Musim pun
berganti. Dan dalam pergantian itu, kita tiba-tiba
dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi sejalan dengan
tafsir ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.

Kita dibuat terkejut oleh sejenis pemberontakan moral dan
penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir Jawa tadi. Dan,
kita sepertinya tak siap menghadapi kenyataan ketika guru
bukan cuma tak lagi digugu lan ditiru, melainkan juga
digebuk oleh sang murid.

Kita belum punya jawaban, apa yang mesti kita katakan
sekarang ketika kita melihat murid datang kepada guru sambil
membawa parang, golok, atau belati untuk mengancam sang
guru, ketika gurunya tak bersedia memberinya nilai bagus
atau menaikkannya ke kelas tinggi

Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada murid
mengamuk melempari kaca dan jendela, merusak sekolah, dan
mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri guru?
Dan, apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat
kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru merosot serendah
itu? Guru-guru berjumpalitan, mencoba berakrobatik untuk
menyesuaikan diri dengan panduan dari pusat. Mereka
tergencet situasi: mengejar target yang besar dari pusat
akan selalu berarti menemui kesulitan dengan murid-muridnya
sendiri, tapi bila ia mencoba memberi murid sedikit
keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.

Guru memang masih tetap disanjung sebagai "pahlawan tanpa
tanda jasa". Ada bahkan yang mengatakan bahwa umumnya tiap
orang besar pernah menjadi guru. Mungkin benar, tapi guru
dalam masyarakat kita sekarang jelas bukan orang besar.
Jadi, apakah gunanya menghibur guru dengan ucapan seperti
itu?

Bagi saya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa
ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-olah guru memang
tak berhak memperoleh tanda jasa itu.

Guru bukan manusia merdeka. Ia tidak bebas. Ia tidak
mempunyai otonomi dalam memutuskan nasib murid-muridnya,
meskipun tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang
paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.

Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan tak
jarang campur tangan, melakukan intimidasi, atau menyogok
sang guru dengan materi. Ini sekali lagi, membuktikan juga
betapa guru memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka.
Tampaknya guru, dalam kondisinya, tak bisa berkata tidak
seperti dulu ketika Durna menolak satria, calon murid yang
hendak berguru kepadanya.

Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang tak
menggantungkan kurikulum pendidikannya kepada kekuasaan
orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di
mata para muridnya. Guru-guru tarekat, dengan kata lain,
masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal tentang guru
sebagai yang digugu lan ditiru.

Petuah sang guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak.
"Sabda" mereka disetengahsucikan oleh para murid. Guru
tarekat adalah sejenis raja yang paling berkuasa. Namun,
mereka memperoleh kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan
dengan wibawa.

Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita
kepada kita bahwa sebagian guru tarekat bukan cuma didengar
komando jihatnya untuk menyembelih si kafir Belanda,
melainkan juga dipandang sebagai penjelmaan Ratu Adil yang
bakal mengembalikan harmoni dalam masyarakat serta
menjanjikan ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.

Murid-murid tarekat pernah rela mempertaruhkan leher demi
melaksanakan perintah guru. Dan, murid-murid tarekat, sampai
saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa
makanannya untuk ngalap berkah.

Kemandirian, kebebasan, kharismanya yang besar, dan
keteladanan moralnya itu yang membuat murid tarekat rela
mencium tangan bahkan sungkem, menyembah, di hadapan sang
guru.

---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 15 Desember 1991


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Bridal Dresses. Powered by Blogger